DPR Naikkan Tunjangan Rumah Rp 50 Juta per Bulan: Memberikan Signal Efisiensi Hanya Slogan?

Di tengah rakyat yang sedang menghadapi tekanan ekonomi: mulai dari PHK massal, harga beras yang terus naik, hingga pemotongan transfer ke daerah. DPR justru menikmati tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan. Kebijakan ini berlaku selama satu tahun penuh, dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Totalnya, setiap anggota DPR akan menerima Rp 600 juta hanya untuk fasilitas perumahan. Setelah periode itu berakhir, tunjangan dihentikan.

Bagi publik, fakta bahwa tunjangan ini hanya sementara tidak mengurangi kemarahan. Setahun penuh “bonus perumahan” sudah cukup untuk mempertebal jarak antara rakyat yang makin terhimpit dan elite politik yang justru hidup dalam kenyamanan.

Jurang Sosial yang Kian Lebar

Perbandingan ini terasa mencolok. Anggota DPR bisa menikmati Rp 50 juta per bulan hanya untuk rumah, sementara Bank Dunia mencatat hampir 70 persen rakyat Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 1,5 juta per bulan. Jurang sosial ini bukan sekadar soal angka di laporan statistik, melainkan realitas sehari-hari yang memperlihatkan ketidakadilan sistemik.

Efisiensi untuk Rakyat, Kemewahan untuk Elite

Awal tahun 2025, pemerintah gencar mengumumkan efisiensi anggaran. Belanja kementerian dipangkas hingga Rp 306 triliun dan transfer ke daerah dikurangi sampai setengahnya. Pemerintah daerah dan masyarakat diminta berhemat, sementara DPR pusat justru menikmati fasilitas tambahan. Efisiensi hanya berlaku ke bawah, tetapi kemewahan tetap dipertahankan di pusat.

Mitos “Gaji Tinggi Meningkatkan Profesionalisme”

Sering muncul argumen bahwa tunjangan besar akan mendorong kinerja yang lebih baik. Namun riset internasional menunjukkan sebaliknya.

Studi dari UC San Diego yang meneliti politisi di Amerika Serikat selama enam dekade menemukan bahwa kenaikan gaji hanya memberi dampak sangat kecil pada produktivitas legislatif. Ferraz dan Finan (2011) di Brasil memang menemukan adanya peningkatan output legislasi ketika gaji dinaikkan, tetapi efek ini juga memperkuat posisi incumbent dan mempersulit regenerasi politik.

Laporan Bank Dunia tahun 2023 menambahkan lapisan penting: di negara dengan ketimpangan upah sektor publik yang tinggi, kenaikan gaji justru meningkatkan tingkat korupsi. Sebaliknya, di negara dengan distribusi gaji lebih merata, dampaknya bisa positif. Kasus Ghana menjadi pelajaran keras. Ketika gaji polisi dilipatgandakan tanpa reformasi pengawasan, praktik suap malah meningkat.

Intinya jelas. Tanpa akuntabilitas dan mekanisme pengawasan, kenaikan gaji atau tunjangan tidak otomatis menciptakan profesionalisme. Yang terjadi justru moral hazard: jabatan politik menarik bagi mereka yang mencari rente, bukan bagi mereka yang termotivasi melayani rakyat.

Dampak Psikologis & Simbolik: Kepercayaan Publik Ambruk

Kebijakan ini bukan sekadar angka di APBN. Dampaknya nyata dan menyakitkan:

  • Pajak tak lagi dianggap sebagai kontribusi, melainkan subsidi untuk privilese.
  • Kepercayaan terhadap DPR tergerus.
  • Kolusi, yang dulu dianggap skandal, menjadi tampak “normal”.

Solusi: Reformasi, Bukan Tambahan Tunjangan

  • Performance-Based Pay — Kompensasi terkait output nyata: legislasi bermanfaat, kehadiran rapat, kepuasan publik.
  • Transparansi — Setiap tunjangan dan gaji dipublikasikan real-time.
  • Reformasi Struktural — Hindari “kong-ka-likong legal” lewat sistem kompensasi. Perlu ada independensi antara eksekutif dan legislatif
  • Citizen Oversight — Mekanisme direct democratic control atas kompensasi politik

Penutup: Waktunya Teladan, Bukan Kehormatan Tak Terbantahkan

Tunjangan rumah Rp 50 juta/bulan, meski hanya setahun, telah menjadi simbol salah urus prioritas. DPR harus mulai mengurangi privilege, dan menunjukkan bahwa kompensasi harus dikaitkan dengan kinerja nyata—bukan simbol panggung politik.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mastodon